Kehormatan seorang Muslim sangat mulia di sisi Allah Azza wa Jalla.
Oleh karena itu, tidak boleh merusak kehormatan seorang Muslim dengan
cara-cara yang tidak dibenarkan syari’at, seperti menuduh dan menghukumi
kafir terhadap seseorang yang zhahirnya Muslim tanpa kaedah-kaedah yang
benar.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Tidak seorangpun berhak mengkafirkan seseorang
dari kaum Muslimin, meskipun dia telah melakukan kekeliruan atau
kesalahan, sampai ditegakkan hujjah (argumuen) kepadanya dan jalan yang
benar jelas baginya. Karena orang yang telah tetap keislamannya secara
yakin, maka keislamannya itu tidak akan hilang darinya dengan keraguan.
Bahkan keislamannya itu tetap ada sampai ditegakkan hujjah dan
dihilangkan syubhat (kesamaran)”[1]
BAHAYA PENGKAFIRAN DENGAN TANPA KAIDAH YANG BENAR.
Syaikh Muhammad al-‘Utsaimîn rahimahullah menjelaskan bahaya
mengkafirkan seorang Muslim dengan tanpa kaidah yang benar dengan
mengatakan, “Tidak boleh bersikap meremehkan (sembrono) dalam menghukumi
kafir atau fasiq terhadap seorang Muslim, karena di dalam perkara itu
terdapat dua bahaya yang besar.
Pertama : Membuat kedustaan terhadap Allah Azza wa Jalla di dalam
hukum, dan terhadap orang yang dihukumi (kafir) pada sifat yang dia
lontarkan kepadanya.”
Aku katakan: Larangan tentang hal ini banyak sekali, antara lain firman Allah Azza wa Jalla.
“Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang
membuat-buat kedustaan terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa
pengetahuan? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zhalim”. [al-An’âm/ 6:144]
Dan ayat-ayat lain yang melarang berbicara atas nama Allah tanpa ilmu.
Kemudian Syaikh al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan.
Kedua : Terjatuh ke dalam perkara yang dia tuduhkan kepada saudaranya
tersebut, jika saudaranya selamat dari apa yang dia tuduhkan.
Dalam Shahîh Muslim `Abdullâh bin Umar Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Jika seseorang mengkafirkan saudaranya (se-iman), maka sesungguhnya mengenai salah satu dari keduanya”. [HR Muslim]
Dan di dalam satu riwayat:
إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
“Jika memang dia seperti yang dikatakan. Jika tidak, perkataan itu kembali kepada orang yang berkata”. [HR Muslim]
Juga sabda Nabi Shallalllahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu beliau bersabda:
وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa memanggil orang lain dengan kekafiran atau dia berkata
“Hai musuh Allah”, padahal tidak benar, maka hal itu kembali padanya”
[2]
SEJARAH PENGKAFIRAN DI ZAMAN INI
Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi hafizhahullâh berkata, “Kita meyakini
bahwa permasalahan ‘pengkafiran’ -pada fase-fasenya yang akhir- di zaman
kita ini, awal muncul keburukannya mulai di dalam penjara-penjara Mesir
pada tahun enam puluhan Masehi –sekitar empat puluh tahun yang lalu-
dari sebagian para pemikir harakah-harakah (para sastrawan) yang
mengkafirkan masyarakat secara umum dan menghukumi mereka dengan murtad.
Sehingga diriwayatkan dari sebagian mereka itu yang mengatakan, ‘Aku
tidak mengetahui seorang Muslim-pun di atas bumi ini selain diriku, dan
seorang yang lain di India selatan!!!’
Kemudian pada pertengahan tahun tujuh puluhan Masehi, sikap ekstrim
pelakunya semakin bertambah menyimpang dan semakin tajam. Selanjutnya
kami telah melihat orang yang mengkafirkan semua manusia seluruhnya. Dia
tidak mengecualikan selain orang yang berbai’at kepada syaikh (gurunya)
dan imam jama’ahnya (organisasinya)!!
Mereka itu sendiri (berpecah belah) menjadi banyak jama’ah dan bai’at!!
Pada tahun delapan puluhan Masehi, fitnah (baca: musibah) mereka itu
semua mengendor sedikit. Selanjutnya kami melihat orang yang membatasi
pengkafiran hanya kepada pemerintah-pemerintah dan sistem-sistem, mulai
dari Pemimpin negara, lalu wakilnya, menteri-menterinya…sampai
pasukannya dan tentaranya!!
Kelompok yang akhir ini juga (di dalamnya) terdapat beberapa tingkatan:
• Sebagian mereka mengkafirkan pemimpin negara dan wakilnya saja!
• Sebagian mereka ada yang menggabungkan –selain di atas- menteri-menterinya juga!
• Sebagian mereka ada yang menambahkan anggota Parlemen!
• Dan seterusnya.
Mereka saling berselisih dan pendapat mereka saling kontradisi; bahkan kami telah melihat sebagian mereka memvonis sesat kepada sebagian yang lainnya dan menuduh mereka dengan tuduhan-tuduhanyang sangat keji.
Bahkan, banyak di antara mereka yang mengkafirkan dan menghukumi murtad kelompok dan jama`ah yang menyelisihi mereka.
Seandainya kita memperhatikan secara mendalam, niscaya kita akan
melihat bahwa akar masalah perselisihan mereka adalah ‘berhukum dengan
selain hukum yang Allah turunkan’
Maka, bagaimana jika keadaan itu sampai kepada kenyataan berupa
keburukan dan kezhaliman. Dari mulai takfîr (pengkafiran) menjadi
revolusi, kemudian pemberontakan dan pengeboman, sehingga menjerumuskan
umat ini ke dalam ujian yang sangat berat dan cobaan yang sangat buruk.
Para Ulama kita (Haiah Kibaril ‘Ulama) yang dipimpin oleh yang mulia
Ustadz kita al-’Allâmah al-Imam Syaikh `Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullah
-semoga Allah Azza wa Jalla menjaga mereka yang masih hidup untuk
kebaikan umat ini dan merahmati mereka yang sudah wafat- telah menyadari
bahaya yang sedang menyelimuti dan terjadi ini, bahaya yang menjalar
dan menyusup, mulai dari pengkafiran sampai pengeboman.
Para Ulama, mereka menulis penjelasan yang agung untk memperingatkan
umat dari bencana ini dan menjauhkan orang dari pelakunya, yaitu
orang-orang yang tidak lurus.
Penjelasan tersebut disiarkan di Majalah Al-Buhûts al-Islâmiyah, no.
56, bulan Shafar, th. 1420 H, namun tertahan, tidak menyebar (di tengah
masyarakat).”[3]
PENGKAFIRAN LALU PENGEBOMAN
Pengkafiran terhadap seorang Muslim mengakibatkan perkara-perkara yang
berbahaya, seperti menghalalkan darah dan harta, mencegah warisan,
batalnya pernikahan, dan lainnya dari akibat-akibat kemurtadan. Untuk
itu, seorang Mukmin tidak boleh menghukumi kafir kepada seorang Muslim
lainnya hanya karena sedikit syubhat (kesamaran). Jika pengkafiran yang
ditujukan kepada individu-individu mengandung bahaya yang besar, lantas
bagaimana jika ditujukan kepada pemerintah-pemerintah Muslim? Tentu
bahayanya jauh lebih besar! Karena pengkafiran seperti ini akan
membuahkan sikap membangkang kepada ulil amri, mengangkat senjata,
menyebarkan kekacauan, menumpahkan darah, dan kerusakan manusia dan
negara.
Oleh karena itu Hai’ah Kibaril ‘Ulama (Komisi Ulama Besar) di
Kerajaan Saudi Arabia mengisyaratkan adanya hubungan erat antara
fenomena pengeboman yang terjadi di berbagai negara Islam dengan
pengkafiran. Hai’ah Kibaril ‘Ulama menjelaskan, “Sesungguhnya Majlis
Hai’ah Kibaril ‘Ulama di dalam pertemuannya ke-49 di kota Thaif, mulai
tanggal 2/4/1419 H, telah mengkaji apa yang terjadi di banyak
negara-negara Islam –dan lainnya- yang berupa takfîr (fenomena
pengkafirkan) dan tafjîr (pengeboman), dan akibat-akibatnya yang berupa
penumpahan darah dan penghancuran bangunan-bangunan”.[4]
Point-point penjelasan Hai’ah Kibaril ‘Ulama ini adalah sebagai berikut:
1. Takfîr (menghukumi kafir) adalah hukum syari’at, tempat kembalinya
adalah kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Sebagaimana tahlîl
(menghalalkan), tahrîm (mengharamkan), dan îjâb (mewajibkan),
dikembalikan kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Demikian pula
takfîr.
2. Apa yang muncul dari keyakinan yang salah ini (yaitu tergesa-gesa
menjatuhkan vonis kafir), yang berupa penghalalan darah, pelanggaran
kehormatan, perampasan harta khusus dan umum, pengeboman rumah-rumah dan
kendaraan-kendaraan, serta pengrusakan bangunan-bangunan; semua
perbuatan ini dan yang semacamnya diharamkan secara syari’at berdasarkan
ijmâ’ kaum Muslimin.
3- Ketika Majlis Hai’ah Kibaril ‘Ulama menjelaskan hukum takfîr
kepada manusia dengan tanpa bukti dari Kitab Allah k dan Sunnah
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menjelaskan bahwa
melontarkan tuduhan kekafiran termasuk perbuatan dosa dan dan
menyebabkan berbagai keburukan, maka sesungguhnya Majlis mengumumkan
bahwa agama Islam berlepas diri dari keyakinan yang salah ini. Dan apa
yang terjadi di sebagian negara berupa penumpahan darah orang yang tidak
bersalah, pengeboman rumah-rumah, kendaraan-kendaraan, serta
fasilitas-fasilitas umum dan khusus, serta pengrusakan
bangunan-bangunan, itu adalah kejahatan, dan agama Islam berlepas diri
darinya.
Demikian pula semua Muslim yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla
dan hari akhir, mereka berlepas diri darinya. Itu hanyalah tindakan
orang yang memiliki pemikiran menyimpang dan akidah yang sesat, dan
merekalah yang akan menanggung dosanya dan kejahatannya. Perbuatan
mereka tidak boleh dikaitkan dengan Islam dan kaum Muslimin yang
mengikuti petunjuk Islam, berpegang teguh dengan al-Qur`ân dan Sunnah,
serta berpegang dengan tali Allah yang kokoh. Namun, itu hanyalah
semata-mata perbuatan merusak dan kejahatan yang ditolak oleh syari’at
dan fitrah. Oleh karena itu telah datang nash-nash syari’at yang
mengharamkannya dan memperingatkan berkawan dengan pelakunya.[5]
Perbuatan sebagian orang yang melakukan bom bunuh diri dengan anggapan jihad fî sabîlillâh merupakan anggapan dan perbuatan yang rusak.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn rahimahullah berkata, “…yang
aku maksudkan adalah orang-orang yang meledakkan bom di tengah-tengah
manusia, dengan anggapan mereka bahwa itu termasuk jihâd fî sabîlillâh!
Padahal hakekatnya, keburukan yang mereka timpakan terhadap Islam dan
kaum Muslimin jauh lebih besar daripada kebaikan yang mereka perbuat.
Akibat perbuatan mereka, citra Islam menjadi buruk di mata orang-orang
Barat dan lainnya! Apa yang telah mereka hasilkan? Apakah orang-orang
kafir mendekat kepada Islam, atau mereka semakin menjauh darinya?
Sedangkan bagi umat Islam sendiri, hampir saja setiap Muslim menutupi
wajahnya agar tidak dinisbatkan kepada kelompok yang membuat kegemparan
dan ketakutan ini. Dan agama Islam berlepas diri darinya.
Walaupun jihâd sudah diwajibkan, akan tetapi para Sahabat tidak
pernah pergi ke masyarakat kafir untuk membunuh mereka; kecuali jihad
yang memiliki bendera dari Penguasa yang mampu melakukan jihâd. Adapun
teror ini –demi Allah- merupakan cacat bagi umat Islam. Aku bersumpah
dengan nama Allah Azza wa Jalla ; bahwa kita tidak mendapatkan hasil
sama sekali, bahkan sebaliknya, sesungguhnya hal itu memperburuk citra.
Seandainya kita meniti jalan hikmah, yaitu Pertama: bertakwa kepada
Allah Azza wa Jalla dan kita memperbaiki diri kita, kedua: berusaha
memperbaiki orang-orang lain dengan metode-metode syari’at, sungguh
hasilnya adalah hasil yang baik”.[6]
Maka, bukankah kita meninginkan perbaikan? Hanya Allah Azza wa Jalla -lah Azza wa Jalla tempat memohon pertolongan.
Mutiara Qolbu
Friday, December 16, 2016
Semangat Para Ulama dalam Ibadah
Jika kita melihat contoh orang-orang terdahulu, contoh para ulama
salaf, barangkali kita akan tercengang. Bagaimana tidak? Sungguh
menakjubkan amal yang mereka lakukan. Semangat mereka amat luar biasa.
Kontinuitas mereka dalam beramal selalu terjaga. Di antara buktinya
adalah kisah-kisah berikut ini.
Waki’ bin Al Jarroh rahimahullah berkata, “Al A’masy selama kurang lebih 70 tahun tidak pernah luput dari takbiratul ihrom.”
Masya Allah, lalu di manakah kita? Tatkala mendengar adzan saja tidak dipedulikan. Apalagi seringnya telat dan bahkan sering menempati shaf terbelakang.
Al Qodhi Taqiyuddin Sulaiman bin Hamzah Al Maqdisi rahimahullah berkata, “Aku tidaklah pernah shalat fardhu sendirian kecuali dua kali. Dan ketika aku shalat sendirian, aku merasa seakan-akan aku tidak shalat.”
Lihatlah penyesalan Sulaiman bin Hamzah di atas. Ia teramat sedih luput dari shalat jama’ah. Berbeda dengan kita yang tidak sesedih itu. Hati terasa tenang-tenang saja (tidak ada rasa menyesal) ketika shalat di rumah. Kalau kita teringat akan pahala shalat jama’ah yang 27 derajat lebih mulia dari shalat sendirian, tentu kita tidak akan meninggalkannya.
Muhammad bin Sama’ah rahimahullah berkata, “Selama 40 tahun aku tidak pernah luput dari takbiratul ihram (bersama imam) walaupun sehari saja kecuali ketika ibuku meninggal dunia.”
Lihatlah Muhammad bin Sama’ah karena ada udzur saja beliau tinggalkan shalat jama’ah. Tidak seperti kita yang selalu kemukakan beribu alasan, sibuklah, ada tugaslah, dan alasan lainnya yang sebenarnya bukanlah udzur yang dibenarkan.
Dalam biografi Sa’id bin Al Musayyib rahimahullah di kitab Tahdzib At Tahdzib disebutkan, “Selama 40 tahun tidaklah dikumandangkan adzan melainkan Sa’id telah berada di masjid.”
Lihatlah semangat yang luar biasa, berusaha tepat waktu ketika shalat, berusaha ontime sebelum adzan. Tidak seperti kita yang masih asyik-asyikkan di depan TV, yang masih asyik-asyikan bercanda dengan teman, yang lebih senang bersama dengan istri dan anak-anak. Wallahul musta’an.
Asy Sya’bi rahimahullah berkata, “Tidaklah adzan dikumandangkan semenjak aku masuk Islam melainkan aku telah berwudhu saat itu.”
Lihatlah bagaimana semangat Asy Sya’bi yang selalu berusaha pula shalat on time, bahkan sudah berwudhu sebelum waktu adzan.
Ulama belakangan pun ada yang punya kisah demikian. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah terkenal dengan semangat beliau dalam ibadah di samping beliau sudah ma’ruf dengan perbendaharaan ilmu diin yang amat luas. Beliau adalah orang yang rutin menjaga shalat sunnah rawatib, rajin menjaga dzikir-dzikir khusus dan rutin pula menjaga shalat malam (tahajjud).
Anak Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz yang bernama Ahmad berkata, “Aku sudah lama mengetahui kalau ayahku selalu bangun tidur satu jam sebelum shalat shubuh dan ketika itu beliau shalat (tahajjud) sebanyak 11 raka’at (sudah termasuk witir, pen).”
Dari sini maka sudah sepantasnya orang yang telah mengetahui suatu amalan agar semangat untuk mengamalkannya. Menuntut ilmu agama bukanlah sekedar tambah wawasan dan memperluas cakrawala. Hendaklah orang yang sudah mendalami ilmu agama berusaha lebih giat lagi dalam ibadah karena mereka adalah qudwah (contoh) bagi yang lain. Jika orang yang menuntut ilmu agama telah semangat dalam kebaikan seperti ini, maka yang lain pun akan ikut termotivasi. Namun jika mereka-mereka saja malas, maka yang lain pun bisa terpengaruh kebiasaan buruk tersebut. Jadilah qudwah, jadilah teladan, barengkanlah ilmu dan amal. Tetap perdalam dan rajin menuntut ilmu diin disertai semangat mengamalkan ilmu tersebut. Ingat pula bahwa sebaik-baik amalan adalah yang kontinu walaupun sedikit.
Wallahu waliyyut taufiq.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush s
Waki’ bin Al Jarroh rahimahullah berkata, “Al A’masy selama kurang lebih 70 tahun tidak pernah luput dari takbiratul ihrom.”
Masya Allah, lalu di manakah kita? Tatkala mendengar adzan saja tidak dipedulikan. Apalagi seringnya telat dan bahkan sering menempati shaf terbelakang.
Al Qodhi Taqiyuddin Sulaiman bin Hamzah Al Maqdisi rahimahullah berkata, “Aku tidaklah pernah shalat fardhu sendirian kecuali dua kali. Dan ketika aku shalat sendirian, aku merasa seakan-akan aku tidak shalat.”
Lihatlah penyesalan Sulaiman bin Hamzah di atas. Ia teramat sedih luput dari shalat jama’ah. Berbeda dengan kita yang tidak sesedih itu. Hati terasa tenang-tenang saja (tidak ada rasa menyesal) ketika shalat di rumah. Kalau kita teringat akan pahala shalat jama’ah yang 27 derajat lebih mulia dari shalat sendirian, tentu kita tidak akan meninggalkannya.
Muhammad bin Sama’ah rahimahullah berkata, “Selama 40 tahun aku tidak pernah luput dari takbiratul ihram (bersama imam) walaupun sehari saja kecuali ketika ibuku meninggal dunia.”
Lihatlah Muhammad bin Sama’ah karena ada udzur saja beliau tinggalkan shalat jama’ah. Tidak seperti kita yang selalu kemukakan beribu alasan, sibuklah, ada tugaslah, dan alasan lainnya yang sebenarnya bukanlah udzur yang dibenarkan.
Dalam biografi Sa’id bin Al Musayyib rahimahullah di kitab Tahdzib At Tahdzib disebutkan, “Selama 40 tahun tidaklah dikumandangkan adzan melainkan Sa’id telah berada di masjid.”
Lihatlah semangat yang luar biasa, berusaha tepat waktu ketika shalat, berusaha ontime sebelum adzan. Tidak seperti kita yang masih asyik-asyikkan di depan TV, yang masih asyik-asyikan bercanda dengan teman, yang lebih senang bersama dengan istri dan anak-anak. Wallahul musta’an.
Asy Sya’bi rahimahullah berkata, “Tidaklah adzan dikumandangkan semenjak aku masuk Islam melainkan aku telah berwudhu saat itu.”
Lihatlah bagaimana semangat Asy Sya’bi yang selalu berusaha pula shalat on time, bahkan sudah berwudhu sebelum waktu adzan.
Ulama belakangan pun ada yang punya kisah demikian. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah terkenal dengan semangat beliau dalam ibadah di samping beliau sudah ma’ruf dengan perbendaharaan ilmu diin yang amat luas. Beliau adalah orang yang rutin menjaga shalat sunnah rawatib, rajin menjaga dzikir-dzikir khusus dan rutin pula menjaga shalat malam (tahajjud).
Anak Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz yang bernama Ahmad berkata, “Aku sudah lama mengetahui kalau ayahku selalu bangun tidur satu jam sebelum shalat shubuh dan ketika itu beliau shalat (tahajjud) sebanyak 11 raka’at (sudah termasuk witir, pen).”
Dari sini maka sudah sepantasnya orang yang telah mengetahui suatu amalan agar semangat untuk mengamalkannya. Menuntut ilmu agama bukanlah sekedar tambah wawasan dan memperluas cakrawala. Hendaklah orang yang sudah mendalami ilmu agama berusaha lebih giat lagi dalam ibadah karena mereka adalah qudwah (contoh) bagi yang lain. Jika orang yang menuntut ilmu agama telah semangat dalam kebaikan seperti ini, maka yang lain pun akan ikut termotivasi. Namun jika mereka-mereka saja malas, maka yang lain pun bisa terpengaruh kebiasaan buruk tersebut. Jadilah qudwah, jadilah teladan, barengkanlah ilmu dan amal. Tetap perdalam dan rajin menuntut ilmu diin disertai semangat mengamalkan ilmu tersebut. Ingat pula bahwa sebaik-baik amalan adalah yang kontinu walaupun sedikit.
Wallahu waliyyut taufiq.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush s
Di Tengah Era Fitnah dan Kelalaian
Segala puji bagi Allah yang menciptakan kehidupan dan kematian
sebagai bentuk ujian bagi segenap insan. Salawat dan salam semoga
terlimpah kepada rasul pembawa rahmat bagi seru sekalian alam. Amma ba’du.
Masa-masa yang penuh dengan kekacauan (baca: fitnah) dan kelalaian adalah masa-masa yang membutuhkan kesiap-siagaan pada diri setiap insan. Tidakkah kita ingat bersama, wahai saudaraku semoga Allah menjagaku dan menjagamu… bahwa menjadi orang yang istiqomah di atas ketaatan di kala-kala fitnah merajalela adalah sebuah keutamaan yang sangat besar…
Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Beribadah di kala fitnah berkecamuk laksana berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim)
Menjadi orang yang teguh di atas kebenaran di saat manusia tenggelam dalam kesesatan jelas merupakan sebuah keutamaan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam datang dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing pula. Maka beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR. Muslim)
Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang asing itu? Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa mereka itu adalah, “Orang-orang yang berbuat baik tatkala orang-orang lain berbuat kerusakan.” (HR. Thabrani, disahihkan sanadnya oleh Syaikh al-Albani)
Ingatkah engkau wahai saudaraku… bahwa kebaikan paling utama yang saat ini banyak dilalaikan oleh manusia adalah tauhid, iman dan keikhlasan?
Tentang keutamaan tauhid, maka kita semua ingat bahwa tauhid inilah yang menjadi tujuan diciptakannya seluruh jin dan manusia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Para ulama salaf menafsirkan bahwa makna ibadah di sini adalah tauhid…
Lihatlah umat manusia yang ada… betapa banyak di antara mereka yang melalaikan tauhid! Sehingga mereka terjerumus dalam berbagai perbuatan syirik… Entah itu syirik besar maupun kecil, entah itu yang tampak maupun yang tersembunyi… Padahal, kita semua tahu betapa besar bahaya dosa yang satu ini, sampai-sampai Allah mengatakan (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan syirik, yaitu bagi orang-orang yang Allah kehendaki.” (QS. an-Nisaa’: 48)
Tentang pentingnya keimanan, maka terlalu banyak dalil yang menunjukkan betapa besar peranan iman bagi kehidupan setiap insan. Di antaranya Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (QS. al-An’aam: 82). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya semua manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)
Lihatlah umat manusia yang ada di sekitar kita… betapa banyak orang yang rela menjual keimanannya demi mendapatkan kesenangan dunia yang hanya sementara! Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah dalam melakukan amalan-amalan sebelum datangnya fitnah-fitnah yang seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita. Pada pagi hari seorang masih beriman namun di sore harinya dia menjadi kafir, atau pada sore hari dia beriman namun di pagi harinya dia menjadi kafir. Dia menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia.” (HR. Muslim)
Adapun, tentang keagungan ikhlas… maka banyak sekali dalil yang menunjukkan hal itu kepada kita. Di antaranya, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya…” (QS. al-Bayyinah: 5). Dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu diukur dengan niatnya. Dan setiap orang akan diberi balasan seperti apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya, niscaya hijrahnya akan sampai kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena motivasi dunia atau karena keinginan menikahi seorang wanita, maka hijrahnya hanya akan mendapatkan balasan seperti apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lihatlah, berbagai fenomena yang ada di tengah umat manusia… Betapa banyak indikasi yang mencerminkan rusaknya nilai-nilai keikhlasan ini di dalam aktifitas hidup mereka. Penyakit riya’ dan ujub seolah telah menjadi wabah yang merambah kemana-mana… Orang yang sholat, orang yang bersedekah, orang yang berdakwah, orang yang mengajarkan kebaikan… tidaklah ada satu celah kebaikan kecuali setan berusaha untuk membidikkan anak panah ujub dan riya’ ini kepadanya…
Oleh sebab itu, Allah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa membaca Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in di dalam sholat kita… Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan -menukil keterangan gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah- bahwa iyyaka na’budu merupakan senjata untuk melawan penyakit riya’, sedangkan iyyaka nasta’in merupakan senjata untuk melumpuhkan penyakit ujub…
Saudaraku.., semoga Allah meneguhkan kita di atas kebenaran.. Tauhid, iman dan keikhlasan inilah yang menjadi perisai hidup seorang muslim. Tidak ada nilainya harta dan keturunan apabila tidak diiringi dengan tauhid, iman dan keikhlasan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari -kiamat- tidaklah berguna harta dan keturunan kecuali bagi orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89)
Tidaklah seorang hamba mendapatkan kemuliaan derajat di sisi Allah kecuali karena tauhid, iman dan keikhlasan yang mewarnai tindak-tanduk dan perilakunya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tujuh golongan yang diberi naungan oleh Allah pada hari tiada lagi naungan kecuali naungan dari-Nya: [1] Seorang pemimpin yang adil, [2] pemuda yang tumbuh dalam ketekunan beribadah kepada Allah, [3] lelaki yang hatinya bergantung di masjid, [4] dua orang yang saling mencintai karena Allah; mereka bertemu dan berpisah karena-Nya, [5] seorang lelaki yang diajak berbuat keji oleh seorang wanita berkedudukan dan cantik namun ia mengatakan, ‘Aku takut kepada Allah’, [6] orang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan [7] seorang yang mengingat Allah di kala sepi lalu berlinanglah air matanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka di masa-masa yang penuh dengan fitnah dan kelalaian semacam ini setiap muslim harus berjuang mempertahankan tauhid, keimanan dan keikhlasan yang ada di dalam dirinya. Semoga Allah ta’ala menunjuki kita kepada kebenaran dan meneguhkan kita di atasnya, dan semoga Allah menunjuki kita kebatilan dan menjauhkan kita darinya. Wallahul musta’an.
Masa-masa yang penuh dengan kekacauan (baca: fitnah) dan kelalaian adalah masa-masa yang membutuhkan kesiap-siagaan pada diri setiap insan. Tidakkah kita ingat bersama, wahai saudaraku semoga Allah menjagaku dan menjagamu… bahwa menjadi orang yang istiqomah di atas ketaatan di kala-kala fitnah merajalela adalah sebuah keutamaan yang sangat besar…
Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Beribadah di kala fitnah berkecamuk laksana berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim)
Menjadi orang yang teguh di atas kebenaran di saat manusia tenggelam dalam kesesatan jelas merupakan sebuah keutamaan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam datang dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing pula. Maka beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR. Muslim)
Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang asing itu? Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa mereka itu adalah, “Orang-orang yang berbuat baik tatkala orang-orang lain berbuat kerusakan.” (HR. Thabrani, disahihkan sanadnya oleh Syaikh al-Albani)
Ingatkah engkau wahai saudaraku… bahwa kebaikan paling utama yang saat ini banyak dilalaikan oleh manusia adalah tauhid, iman dan keikhlasan?
Tentang keutamaan tauhid, maka kita semua ingat bahwa tauhid inilah yang menjadi tujuan diciptakannya seluruh jin dan manusia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Para ulama salaf menafsirkan bahwa makna ibadah di sini adalah tauhid…
Lihatlah umat manusia yang ada… betapa banyak di antara mereka yang melalaikan tauhid! Sehingga mereka terjerumus dalam berbagai perbuatan syirik… Entah itu syirik besar maupun kecil, entah itu yang tampak maupun yang tersembunyi… Padahal, kita semua tahu betapa besar bahaya dosa yang satu ini, sampai-sampai Allah mengatakan (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan syirik, yaitu bagi orang-orang yang Allah kehendaki.” (QS. an-Nisaa’: 48)
Tentang pentingnya keimanan, maka terlalu banyak dalil yang menunjukkan betapa besar peranan iman bagi kehidupan setiap insan. Di antaranya Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (QS. al-An’aam: 82). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya semua manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)
Lihatlah umat manusia yang ada di sekitar kita… betapa banyak orang yang rela menjual keimanannya demi mendapatkan kesenangan dunia yang hanya sementara! Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah dalam melakukan amalan-amalan sebelum datangnya fitnah-fitnah yang seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita. Pada pagi hari seorang masih beriman namun di sore harinya dia menjadi kafir, atau pada sore hari dia beriman namun di pagi harinya dia menjadi kafir. Dia menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia.” (HR. Muslim)
Adapun, tentang keagungan ikhlas… maka banyak sekali dalil yang menunjukkan hal itu kepada kita. Di antaranya, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya…” (QS. al-Bayyinah: 5). Dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu diukur dengan niatnya. Dan setiap orang akan diberi balasan seperti apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya, niscaya hijrahnya akan sampai kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena motivasi dunia atau karena keinginan menikahi seorang wanita, maka hijrahnya hanya akan mendapatkan balasan seperti apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lihatlah, berbagai fenomena yang ada di tengah umat manusia… Betapa banyak indikasi yang mencerminkan rusaknya nilai-nilai keikhlasan ini di dalam aktifitas hidup mereka. Penyakit riya’ dan ujub seolah telah menjadi wabah yang merambah kemana-mana… Orang yang sholat, orang yang bersedekah, orang yang berdakwah, orang yang mengajarkan kebaikan… tidaklah ada satu celah kebaikan kecuali setan berusaha untuk membidikkan anak panah ujub dan riya’ ini kepadanya…
Oleh sebab itu, Allah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa membaca Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in di dalam sholat kita… Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan -menukil keterangan gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah- bahwa iyyaka na’budu merupakan senjata untuk melawan penyakit riya’, sedangkan iyyaka nasta’in merupakan senjata untuk melumpuhkan penyakit ujub…
Saudaraku.., semoga Allah meneguhkan kita di atas kebenaran.. Tauhid, iman dan keikhlasan inilah yang menjadi perisai hidup seorang muslim. Tidak ada nilainya harta dan keturunan apabila tidak diiringi dengan tauhid, iman dan keikhlasan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari -kiamat- tidaklah berguna harta dan keturunan kecuali bagi orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89)
Tidaklah seorang hamba mendapatkan kemuliaan derajat di sisi Allah kecuali karena tauhid, iman dan keikhlasan yang mewarnai tindak-tanduk dan perilakunya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tujuh golongan yang diberi naungan oleh Allah pada hari tiada lagi naungan kecuali naungan dari-Nya: [1] Seorang pemimpin yang adil, [2] pemuda yang tumbuh dalam ketekunan beribadah kepada Allah, [3] lelaki yang hatinya bergantung di masjid, [4] dua orang yang saling mencintai karena Allah; mereka bertemu dan berpisah karena-Nya, [5] seorang lelaki yang diajak berbuat keji oleh seorang wanita berkedudukan dan cantik namun ia mengatakan, ‘Aku takut kepada Allah’, [6] orang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan [7] seorang yang mengingat Allah di kala sepi lalu berlinanglah air matanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka di masa-masa yang penuh dengan fitnah dan kelalaian semacam ini setiap muslim harus berjuang mempertahankan tauhid, keimanan dan keikhlasan yang ada di dalam dirinya. Semoga Allah ta’ala menunjuki kita kepada kebenaran dan meneguhkan kita di atasnya, dan semoga Allah menunjuki kita kebatilan dan menjauhkan kita darinya. Wallahul musta’an.
Mu’tazilah (Gerakan inkar Sunnah)
Mu’tazilah (Gerakan inkar Sunnah)
Oleh. Zaenal Abidin Syamsudin, Lc
Washil bin ‘Atha’ (wafat 131 H) merupakan tokoh pertama yang menggulirkan aliran dan faham Mu’tazilah. Pada firqoh ini tumbuh berkembang tidak berurusan dengan politik seperti yang ditempuh firqah Khawarij dan Syi’ah, bahkan hanya sebuah gerakan pemikiran yang senang berdebat yang menempuh metode mantiq Yunani dan filsafatnya untuk menguatkan gagasannya.
Mu’tazilah juga terpecah menjadi beberapa sekte satu sama lain saling menkafirkan tetapi secara umum sikap mereka terhadap Sunnah berfariasi, sebagaimana ada yang menolak secara mutlak dan sebagain lain menolak secara parsial.
Dr. Mustafa as-Saba’i [1] berkata: “Semenjak meletusnya fitnah pertama di kalangan para Shahabat, sebagian tokoh Mu’tazilah seperti Washil bin ‘Atha’ telah meragukan kejujuran beberapa Shahabat dan sebagian lain seperti Amr bin Ubaid dengan tegas telah meyakini kefasikan mereka bahkan ada yang menuduh mereka sebagai tokoh pendusta, munafik dan pandir seperti an-Nadzdzam, sehingga penyataan tersebut secara otomatis memberikan penilaian negatif bahkan menggugurkan semua hadits yang diriwayatkan pada Shahabat.”
Adapun hadits ahad tidak dianggap sebagai hujjah dalam penempatan hukum oleh Abu Hudzail kecuali bila telah diriwayatkan dua puluh orang perawi yang salah seorang perawinya telah dijamin masuk Surga, sementara an-Nadzdzam dengan terang-terangan mengingkari ijma’, qias dan hadits mutawatir sebagai hujjah.
Oleh. Zaenal Abidin Syamsudin, Lc
Washil bin ‘Atha’ (wafat 131 H) merupakan tokoh pertama yang menggulirkan aliran dan faham Mu’tazilah. Pada firqoh ini tumbuh berkembang tidak berurusan dengan politik seperti yang ditempuh firqah Khawarij dan Syi’ah, bahkan hanya sebuah gerakan pemikiran yang senang berdebat yang menempuh metode mantiq Yunani dan filsafatnya untuk menguatkan gagasannya.
Mu’tazilah juga terpecah menjadi beberapa sekte satu sama lain saling menkafirkan tetapi secara umum sikap mereka terhadap Sunnah berfariasi, sebagaimana ada yang menolak secara mutlak dan sebagain lain menolak secara parsial.
Dr. Mustafa as-Saba’i [1] berkata: “Semenjak meletusnya fitnah pertama di kalangan para Shahabat, sebagian tokoh Mu’tazilah seperti Washil bin ‘Atha’ telah meragukan kejujuran beberapa Shahabat dan sebagian lain seperti Amr bin Ubaid dengan tegas telah meyakini kefasikan mereka bahkan ada yang menuduh mereka sebagai tokoh pendusta, munafik dan pandir seperti an-Nadzdzam, sehingga penyataan tersebut secara otomatis memberikan penilaian negatif bahkan menggugurkan semua hadits yang diriwayatkan pada Shahabat.”
Adapun hadits ahad tidak dianggap sebagai hujjah dalam penempatan hukum oleh Abu Hudzail kecuali bila telah diriwayatkan dua puluh orang perawi yang salah seorang perawinya telah dijamin masuk Surga, sementara an-Nadzdzam dengan terang-terangan mengingkari ijma’, qias dan hadits mutawatir sebagai hujjah.
Apakah Anda Tidak Takut Berbuat Bid’ah?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat dari bid’ah itu demi kepentingan sebuah organisasi?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat tentang bahaya bid’ah itu demi kepentingan sebuah partai politik?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat tentang amalan-amalan bid’ah itu demi mendapatkan secuil harta dunia?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat tentang jeleknya bid’ah itu demi mempertahankan tradisi nenek moyang?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat tentang kerugian pelaku bid’ah itu agar dikenal sebagai orang alim yang paling pandai?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat agar meninggalkan bid’ah itu demi membela tokoh Fulan dan Allan?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat tentang bahaya bid’ah itu demi kepentingan sebuah partai politik?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat tentang amalan-amalan bid’ah itu demi mendapatkan secuil harta dunia?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat tentang jeleknya bid’ah itu demi mempertahankan tradisi nenek moyang?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat tentang kerugian pelaku bid’ah itu agar dikenal sebagai orang alim yang paling pandai?
Apakah anda mengira, memperingatkan ummat agar meninggalkan bid’ah itu demi membela tokoh Fulan dan Allan?
Demi Allah, sama sekali tidak. Bahkan nyatanya para
pelaris kebid’ahan lah yang memiliki tendensi-tendensi demikian. Dan
sungguh, kita hendaknya enggan dan takut berbuat bid’ah karena takut
kepada Allah Ta’ala.
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah Ta’ala
menyatakan bahwa ajaran Islam sudah sempurna, tidak butuh penambahan.
Membuat amalan-amalan ibadah baru sama saja dengan memberikan ‘catatan
kaki’ pada firman Allah Ta’ala:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3)
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah Ta’ala
melarang kita berselisih ketika Qur’an dan sunnah sudah sangat jelas
dalam menjelaskan ajaran agama ini secara sempurna, dari masalah tauhid
hingga adab buang air besar, sama sekali tidak perlu penambahan lagi.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang
bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas
kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (QS. Al Imran: 105)
Ash Shabuni berkata: “Maksud ayat ini adalah, janganlah
berlaku seperti orang Yahudi dan Nasrani yang mereka berpecah-belah
dalam masalah agama karena mengikuti hawa nafsu mereka padahal ayat-ayat
yang datang kepada mereka sudah sangat jelas” (Shafwatut Tafasir, 202).
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah Ta’ala mengancam orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya dan sunnah Nabi-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Allah itu takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur: 63)
Ketika Imam Malik ditanya tentang orang yang merasa bahwa ber-ihram sebelum miqat itu lebih bagus, padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah
mensyari’atkan bahwa ihram dimulai dari miqat, maka Imam Malik pun
berkata: “Ini menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya, dan aku khawatir
orang itu akan tertimpa fitnah di dunia dan adzab yang pedih
sebagaimana dalam ayat.. (beliau menyebutkan ayat di atas)” (Al I’tisham,
174). Menjelaskan perkataan Imam Malik ini, Asy Syathibi berkata:
“Fitnah yang dimaksud Imam Malik dalam menafsirkan ayat ini berhubungan
dengan kebiasaan dan kaidah ahlul bid’ah, yaitu karena mengedepankan
akal, mereka tidak menjadikan firman Allah dan sunnah Rasulullah sebagai
petunjuk bagi mereka” (Al I’tisham, 174).
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah memerintahkan hamba-Nya untuk mengikuti tuntunan Rasul-Nya. Allah Ta’ala pun mengancam orang yang menyelisihi tuntunan Rasul-Nya dengan siksaan yang keras. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang datang dari Rasulullah, maka ambilah. Dan
apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” (QS. Al Hasyr: 7)
Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang berbuat bid’ah. Tidak anda takut terhadap siksaan Allah yang keras karena melakukan yang dilarang Rasulullah?
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah
mengancam neraka bagi hamba-Nya yang mengambil cara beragama bukan dari
Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ
لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An Nisa: 115)
Ibnu Katsir menjelaskan: “Maksud ayat ini, barang siapa yang menjalani cara beragama yang bukan berasal dari Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam maka ia telah menempatkan dirinya di suatu irisan (syiqq), sedangkan syariat Islam di irisan yang lain. Itu ia lakukan setelah kebenaran telah jelas baginya” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 2/412)
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah
mencela orang yang membuat-buat syari’at baru yang dalam agama dan
menyebut orang-orang yang mengajarkan syari’at baru, lalu ditaati,
sebagai sesembahan selain Allah. Sebagaimana perbuatan orang-orang
musyrik. Allah Ta’ala berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا
لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ
وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain
Allah yang mensyariatkan ajaran agama yang tidak diizinkan Allah?
Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka
telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan
memperoleh azab yang amat pedih” (QS. Asy Syura: 21)
Ibnu Katsir berkata: “Mereka (orang-orang musyrik) tidak
mengikuti apa yang telah disyariatkan Allah melalui agama Allah yang
lurus ini. Bahkan mereka mengikuti syariat dari setan-setan yang berupa
jin dan manusia. Mereka mengharamkan apa yang diharamkan oleh setan
tersebut, yaitu bahiirah, saaibah, washilah dan haam.
Mereka menghalalkan bangkai, darah dan judi, dan kesesatan serta
kebatilan yang lain. Semua itu dibuat-buat secara bodoh oleh mereka,
yaitu berupa penghalalan (yg haram), pengharaman (yang halal),
ibadah-ibadah yang batil dan perkatan-perkataan yang rusak” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 7/198)
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah
telah mencap sesat orang-orang yang ketika tuntunan Islam sudah ada,
mereka malah mempunyai pilihan lain. Bisa jadi pilihan lain ini datang
dari ustadz-nya, kiai-nya, syaikh-nya, dari akalnya, atau dari yang lain. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا
مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan
tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, mereka memiliki pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. Al Ahzab: 36)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata: “Tidak
layak bagi seorang mu’min dan mu’minah, jika Allah sudah menetapkan
sesuatu dengan tegas, lalu ia memiliki pilihan yang lain. Yaitu pilihan
untuk melakukannya atau tidak, padahal ia sadar secara pasti bahwa
Rasulullah itu lebih pantas diikuti dari pada dirinya. Maka hendaknya
janganlah menjadikan hawa nafsu sebagai penghalang antara dirinya dengan
Allah dan Rasul-Nya” (Taisiir Kariimirrahman, 665)
Apakah anda tidak takut berbuat bid’ah? Padahal Allah
mengabarkan ada sebagian hamba-Nya yang berbuat kesesatan namun mereka
merasa itu amalan kebaikan. Dan demikianlah bid’ah, tidak ada satupun
pelaku bid’ah kecuali ia merasa amalan bid’ahnya itu adalah kebaikan.
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا
الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ
أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu
tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”. Yaitu orang-orang
yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan
mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al Kahfi: 103-104)
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak” (Muttafaq ‘alaihi)
Sahabat Nabi, Abdullah bin Umar Radhiallahu’anhu berkata:
كُلَّ بٍدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَة
“Setiap bid’ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik” (Shahih, sebagaimana penilaian Al Albani dalam takhrij kitab Ishlaahul Masajid hal 13 milik Syaikh Jamaluddin Al Qashimi)
Tidakkah anda takut amalan-amalan yang anda anggap baik,
padahal tidak ada tuntunannya dalam agama, kemudian anda mengamalkannya
sampai berpeluh-peluh, ternyata hanya sia-sia belaka di hadapan Allah ?
Oleh karena itu saudaraku, takutlah kepada Allah dan jauhi perbuatan bid’ah.
Subscribe to:
Posts (Atom)